Minggu, 11 September 2011

Mengetahui Tujuan Hidup

Seorang tukang periuk tentu memiliki tujuan sebelum dia membuat periuk. Entah dia ingin membuatnya untuk dijual, untuk dirinya sendiri, atau untuk dinikmati bersama sebagai karya seni. Kemudian dia akan menentukan besar, bentuk, warna, dan interiornya. Apalagi Allah, Dia memiliki tujuan ketika menciptakan segala sesuatu termasuk manusia.
Di musim nyamuk, begitu banyak nyamuk masuk ke rumah kita dan mengganggu dengan gigitannya yang pedas. Saking jengkelnya, seorang teman di Facebook memasang di statusnya, “Untuk apa Tuhan menciptakan nyamuk?”
Memang semula, saya yakin, nyamuk tidak menggigiti darah Adam dan Hawa yang tidak mengenakan sehelai kain pun sebelum mereka jatuh dalam dosa. Tetapi kemudian ada kekacauan alam karena dosa Adam dan Hawa sehingga nyamuk pun bisa membawa kematian bagi manusia.

Tetapi nyamuk bukan tanpa kegunaan sama sekali. Paling tidak ada jutaan orang yang mendapatkan lapangan pekerjaan dari obat pembasmi nyamuk, raket pembunuh nyamuk, salep anti nyamuk, mulai dari produksi hingga penjualnya. Ada juga pembuat game tentang nyamuk. Ada film kartun tentang nyamuk. Dan seterusnya. Nyamuk juga menjadi salah satu makanan bagi  katak, cicak, dan burung tertentu. Memang tidak diketahui persis bagaimana nyamuk bisa menjadi penyeimbang ekosistem, tetapi para ahli mengatakan mungkin ada parasit-parasit atau zat-zat di dalam nyamuk yang belum diteliti tetapi berguna bagi penyeimbang ekosistem alam. (Baca lebih lanjut: “Untuk apa nyamuk diciptakan?“) Apa yang dianggap mengganggu bisa memiliki tujuan yang mungkin belum diketahui sekarang.
Semua pasti ada tujuannya tetapi tidak semua tujuan itu diketahui. Kalau dikaitkan dengan manusia, semua orang diciptakan dengan tujuan tertentu tetapi tidak semua orang mengetahui tujuan hidupnya. Jadi apa tujuan hidup manusia?
Katekismus Westminster, yang mengambil kesimpulannya dari Alkitab (Rm. 11:36; Mzm. 86; Yes. 60:21; 1 Kor. 6:20; Mzm. 16:5-11; 144:15; Why 21:3-4), mendefinisikan bahwa tujuan hidup manusia adalah “memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya.” Memuliakan Allah berarti membawa pujian, penghormatan, pengagungan, kemahsyuran, kepercayaan, dan penyembahan bagi Allah serta mencerminkan sifat-sifat Allah sendiri. Memuliakan Allah juga berarti menyenangkan Allah karena kemuliaan Allah berarti kekudusan Allah, kebesaran, dan kebenaran Allah. Menikmati Dia selama-lamanya berarti memiliki hubungan yang erat dengan-Nya baik di dunia ini maupun dalam kekekalan.
John Piper yang memulai gerakan Desiring God (Merindukan Allah) menafsirkan kalimat “memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya” menjadi “memuliakan Allah dengan menikmati Dia selama-lamanya.” Artinya kita tidak bisa memuliakan Allah tanpa memiliki hubungan yang erat dengan-Nya. Jadi tanpa Dia kita tidak bisa melakukan apapun atau tanpa hubungan yang erat maka apa yang kita lakukan seperti tong kosong nyaring bunyinya. Mungkin kita mengira telah melakukan banyak hal untuk kemuliaan Allah, tetapi ternyata tidak berkenan kepada-Nya karena kita melakukannya tanpa membangun hubungan dengan-Nya. Ini seperti nabi-nabi palsu yang melakukan mukjizat dan banyak hal positif lainnya tetapi tetap ditolak Allah karena Dia tidak mengenal-Nya. Dia tidak memiliki hubungan sama sekali dengan mereka.
Membangun hubungan dengan Allah itu sendiri bukan tujuan akhir. Pemuridan, ibadah, persekutuan, pelayanan, juga bukan tujuan akhir dari hidup kita. Bahkan usaha-usaha misi, menyelamatkan mereka yang terhilang, dan memperkenalkan nama Yesus ke seluruh penjuru dunia bukan tujuan akhir kita. Meskipun semuanya itu penting dan harus dilakukan, itu bukan tujuan hidup kita. Bisa dikatakan, semuanya itu sarana untuk mencapai tujuan akhir yaitu kemuliaan Allah.
Jadi tujuan hidup itu berpusat kepada Allah bukan diri kita sendiri. Bukan memaksimalkan potensi. Bukan hidup untuk kekayaan, popularitas, kedudukan, dan kesenangan kita sendiri. Bukan untuk orang lain. Bukan untuk memperbaiki keadaan. Bukan untuk memperbaiki dunia. Tetapi sekali lagi, Allah dan Allahlah yang menjadi tujuan akhir hidup kita. Melalui hidup kita, Allah dikenal, dipuji, dikagumi, ditinggikan, disembah, dan disenangkan.
Mengapa semuanya harus untuk Allah? Karena memang Dialah Pencipta. Pencipta memiliki kedaulatan penuh untuk tujuan Dia mencipta. Dan Dia mencipta memang hanya untuk kemuliaan-Nya. Di dalam natur-Nya (sifat-Nya), Dia memang mulia dan ingin dimuliakan. Dari Dialah segala sesuatu. Dialah yang membuat segala sesuatu bisa terjadi dan berlangsung. Jadi tidaklah salah kalau segala sesuatu adalah bagi Dia. Dia sungguh layak dimuliakan.
Tetapi kita tidak menjadi korban atau objek penderita karena memuliakan Allah. Sebaliknya, hidup kita menjadi lengkap. Menjadi utuh. Kita seperti sebuah alat elektronik yang menancap pada saluran listrik dan dipakai sesuai fungsinya. Kita tidak seperti microwave yang hanya dipakai untuk menyimpan gula dan kopi. Kita justru akan menikmati kebahagiaan sejati dan kekal karena kita telah memiliki hidup yang sesuai dengan tujuannya diciptakan, yaitu memuliakan Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar